Hari-hari terakhir ini, kita disuguhkan dengan banyaknya berita yang mengulas Muktamar NU (Nahdlatul Ulama). Bukan hanya warga NU saja yang terlihat sibuk membicarakannya, mereka yang bukan NU pun ikut nimbrung.
Kelatahan ini bukan tanpa sebab, hal itu muncul karena NU memang ormas besar, bahkan ormas Islam terbesar di Indonesia. Sehingga, eksistensi dan perannya sangat mempengaruhi konstelasi dinamika kehidupan bangsa ini, baik pada sisi keagamaan, sosial, ekonomi, bahkan politik. Sehingga apapun dinamika yang terjadi di dalam tubuh NU, semua pihak seperti merasa perlu ikut membicarakannya.
Sejak didirikan pada tahun 1926, NU dapat dipastikan selalu ikut terlibat di dalam urusan-urusan masyarakat dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ndilalah kersaning Allah, NU selalu berhasil membuktikan perannya sebagai penengah atau pemberi solusi; maka tidak berlebihan bila kita katakan (seperti kata sebuah iklan), “apapun masalahnya, NU solusinya”.
Sejarah pemicu berdirinya NU pun karena para pendiri NU memberikan solusi atas munculnya penguasa baru Arab Saudi yang berpaham Wahabi yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam saat itu. Mereka, antara lain, menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam para pahlawan Islam. Mereka juga melarang kegiatan peringatan maulid Nabi, bacaan barzanji, diba’an, dan sebagainya dengan alasan karena semua itu mereka anggap dapat mengarah kepada kultus individu.
Tidak berhenti sampai di situ, penguasa baru tersebut juga selalu menghalangi jalan bagi madzab-madzab lain selain madzhab Wahabi, terutama madzhab yang empat. Bahkan mereka menggalang kekuatan untuk menempatkan diri sebagai pemegang khalifah tunggal dunia Islam.
Menyikapi hal itu, para ulama Indonesia (terutama ulama Ahlussunnah Wal Jamaah yang mengasuh pondok pesantren) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi tersebut. Maka para ulama sepakat mengirim delegasi dengan sebutan Komite Hijaz untuk menghadap penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama Indonesia. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjadi embryo untuk membentuk organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU), yang artinya kebangkitan para ulama.
Maka sekali lagi dapat disimpulkan bahwa tujuan NU didirikan adalah untuk memberi solusi atas gejolak yang terjadi. Dengan kata lain, NU yang didirikan oleh para ulama khos dan memiliki pengaruh luas ini, dimaksudkan untuk senantiasa menempatkan posisi dan fungsi penting ulama di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara.
Menjelang usianya yang satu abad, secara organisasi, NU sudah bisa dianggap dewasa; untuk itu NU juga harus mampu menunjukkan kedewasaannya dengan cara menjadi tauladan bagi organisasi lain, khususnya ormas Islam. Sekeras apapun perbedaan pendapat yang muncul di tubuh NU harus dapat diselesaikan dengan hati dingin. Perbedaan pendapat jangan sampai menjadi pemicu perpecahan yang akhirnya hanya akan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Pengaruh NU yang begitu besar, sebagaimana yang penulis sebut di atas, layaknya garam, membuat NU ada dimana-mana dan dirasakan semua orang. Maka apabila ada perpecahan di tubuh NU, berpengaruhnya juga akan menyebar. Ibarat mata uang dollar, dimana naik turun kursnya mempengaruhi semua sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik; NU juga demikin, semua pihak terpangaruh oleh naik turunnya dinamika yang ada di tubuh NU.
Menghadapi dinamika yang memanas akibat berubahnya jadwal Muktamar ke 34 karena adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 secara nasional, hingga muncul dua kutub yang saling berhadap-hadapan, antara yang pro jadwal diundur dan yang tidak, semua pihak harus dapat mengontrol diri dan menyadari bahwa NU didirikan untuk memberi solusi; bukan sebaliknya, sebagai pemicu perpecahan di tengah-tengah masyarakat.
Untuk meredam ketegangan tersebut, peran ulama harus diutamakan. Ulama inilah yang memiliki hak utama untuk berbicara dan harus didengar serta dipatuhi, karena notebene merekalah pemilik organisasi ini. Sebagai jamaah, semua warga NU, apapun status sosial dan jabatannya, harus sami’na wa atho’na, mendengar dan mentaati apa kata ulama. Menjadi ironis jika hanya karena gontok-gontokan masalah jadwal Muktamar dan jabatan Ketua Umum, warga NU yang organisasinya ini selalu hadir sebagai pemberi solusi justru terpecah belah.
Untuk itu, untuk kubu yang ingin jadwal Muktamar dipercepat atau mereka yang ingin jadwal diundur, sepanas apapun persaingan dan selogis apapun argumentasinya, satu cara terbaik untuk mencapai kesepakatan adalah dengan mengikuti apa yang akan diputuskan oleh para ulama, pemegang hak cipta NU.
Dengan demikian, bila dawuh ulama sepuh menjadi referensi utama untuk menetapkan sebuah keputusan, maka hasilnya akan baik dan membawa keberkahan. (*)
*Catatan Gus Damas menyikapi dinamika Penjadwalan ulang Muktamar ke 34 NU.
Discussion about this post