Pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 2021 tentu amat menyedihkan bagi umat Islam di Indonesia. Semua pihak merasakan kesedihan ini, bukan hanya para calhaj (calon haji), keluarganya, tetapi juga kita semua, termasuk pemerintah Indonesia.
Sebagaimana tahun lalu, Indonesia tahun ini kembali absen ke tanah suci. Padahal dalam kondisi normal, panjang antrian sudah di atas 20 tahun.
“Itu pun, jika toh bisa berangkat, tentu dibatasi bagi yang muda-muda. Yang sepuh yang biasanya diprioritaskan berangkat, justru terpaksa mengalah lantaran kerentanan mereka terhadap covid 19. Jadilah mereka harus makin bersabar menunggu giliran,” ujar Pengurus Lembaga Dakwah PBNU KH Jamaludin F Hasyim dalam keterangannya, Ahad (6/6).
Tidak sampai di situ, jagad medsos dipenuhi riuh rendah, kebanyakan berisi kekecewaan dan sebagian lagi kabar ini dijadikan sarana empuk hantam pemerintah.
Framing, hoaks, pelintiran isu, berseliweran. Kaum opisisi gegap gempita menyerang pemerintah, khususnya Sang Gus Menteri (Menag RI Yaqut Cholil Qoumas).
“Ujungnya satu, pemerintah tidak becus urus haji. Seakan ini adalah momen “balas dendam” setelah sekian lama mereka tersudut di ruang publik,” ujar Kiai Betawi ini.
Lucunya, kata Kiai Jamal serangan itu kadang berbasis data dan asumsi yang lemah. Framing Indonesia ditolak masuk Saudi hingga pemerintah menghambat ibadah haji dan semacamnya, seakan hanya pemerintah aktor tunggal dalam dunia perhajian. Bahkan gugatan melebar ke soal dana ibadah haji.
Dunia perhajian melibatkan banyak pihak. Selain jemaah haji sebagai user, ada Pemerintah RI sebagai penyelenggara dan regulator ibadah haji di tanah air, (cq. Kemenag sebagai leading sektor, Kemenhub, Kemenkes, TNI/Polri, BIN, Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota).
Sementara, Pemerintah Saudi Arabia sebagai tuan rumah ibadah haji sekaligus regulator utama bagi semua jemaah haji sedunia, juga ada travel swasta yang menyediakan haji khusus, perusahaan penerbangan, dunia usaha sektor jasa yang menyediakan akomodasi hotel, catering dan transportasi.
“Kompleks kan?” ingat Kiai Jamal.
Dalam kaitan bisa/tidak berangkatnya calhaj, pemerintah RI bisa mencegahnya, sebagaimana Pemerintah Saudi Arabia juga bisa atas dasar alasan tertentu.
Dalam kasus haji tahun ini, Pemerintah RI yang menyatakan tidak menyelenggarakan ibadah haji.
Alasannya sudah dikemukakan dalam siaran resmi pemerintah. Yang paling utama tentu saja alasan keamanan karena tidak kunjung jelasnya regulasi Pemerintah Saudi Arabia.
Menurut Ketua KODI DKI Jakarta ini, tidak tercapai kemampuan (istitho’ah) berupa keamanan (amnu at-thariq) bagi jemaah. Secara fiqih bisa gugur kewajiban haji dalam situasi semacam itu. Apalagi pemerintah bertanggung jawab terhadap rakyat sesuai amanat konstitusi, dan sejalan dengan kaidah fiqih.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan penguasa (harus) dikaitkan dengan kemaslahatan (rakyat) “.
Di balik keadaan yang menyedihkan, hal lain yang melegakan hati adalah kenyataan banyak negara Muslim yang belum (atau tidak?) memberangkatkan calhaj negaranya.
Ada juga faktor ketidakjelasan Pemerintah Saudi Arabia hingga saat ini menunjukkan mereka memang enggan membuka kuota untuk calhaj internasional.
“Lucu memang sikap mereka itu, karena waktu haji semakin mepet namun mereka beralibi belum menentukan kebijakan. Sampai berapa lama lagi harus menunggu, apakah menunggu 1 Dzulhijjah ketika wukuf tinggal 8 hari?” tegas Pembimbing Haji ini.
“Persiapan haji itu rumit, kompleks, perlu waktu berbulan-bulan bahkan setahun sebelumnya. Sebagai orang yang pernah bertugas melayani jemaah haji Indonesia, saya tahu persis rumit dan kompleksnya. Jadi tidak bisa disederhanakan jadi “ketidakbecusan” Sang Gus Menteri. Paham kan sekarang?” pungkasnya. (dakwahnu)
Discussion about this post