Setidaknya 100 peserta berkumpul di Pondok Pesantren Hidayatul Fudhola’ Walisongo, Sungaililin, Musi Banyuasin untuk mengikuti forum Bahtsul Masa’il ke 31 yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Sumatera Selatan, Rabu (23/6/2021).
Hadir dalam forum ini KH Affandi Rois Syuriah PW NU Sumsel, KH Dimyati Amin Wakil Rois Syuriah PW NU Sumsel, KH Ali Mohsin Rois Syuriah PC NU Banyuasin, Hernoe Roesprijadji SIP. MH. MSi Bendahara PW NU Sumsel, para kiai dan santri dari 17 kabupaten/kota di Sumsel.
Dalam pengantarnya di awal acara, KH Affandi mengatakan bahwa Bahtsul Masa’il merupakan bagian dari tanggung jawab jamaah nahdliyin.
“Kita sebagai warga NU memikul tanggung jawab terhadap agama, terhadap sesama dan terhadap bangsa dan negara, yang salah satunya kita ekspresikan melalui forum Bahtsul Masa’il,” terang KH Affandi.
Untuk diketahui, lanjut KH Affandi, Bahtsul Masail merupakan forum diskusi yang secara rutin diselenggarakan oleh jamaah NU untuk menyikapi atau membahas isu-isu yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat untuk kemudian menetapkan hukum fiqihnya.
Sementara itu, selama forum berlangsung, pembahasan masalah cukup hangat, dinamis, demokratis dan diwarnai adu argumentasi antar peserta. Setiap peserta mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan oleh moderator dengan ibarot-ibarot yang beragam dari kitab yang shahih.
Selain para peserta diskusi, forum ini juga dihadiri para mushahih atau musyrif yaitu pengawas atau supervisor yang tugasnya tidak hanya mengawasi jalannya perdebatan dan menjernihkan argumen yang dikemukakan peserta, tetapi juga untuk menjadi murajjih atau pemutus akhir atas solusi terbaik dari permasalahan yang ditanyakan dan jawaban yang diberikan berdasarkan pada ibarot atau referensi yang telah diberikan oleh peserta Bahtsul Masail.
Di kalangan Islam tradisionalis Indonesia, fiqih (ilmu tentang hukum Islam) adalah cabang ilmu utama yang dipelajari para santri di pesantren-pesantren dan bukan cabang ilmu yang mandek. Penerapan dan penafsirannya harus senantiasa selaras dengan perkembangan zaman.
Sementara literatur-literatur fiqih yang digunakan di pesantren sebagian besar berasal dari abad lampau dimana beberapa aturan dan kaidahnya kadang-kadang tidak bisa lagi menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Oleh karena itu, fiqih yang kontekstual sangat diperlukan sebagai solusi untuk masalah-masalah kontemporer ini.
Untuk menutupi kesenjangan antara teks dan konteks itulah Bahtsul Masa’il diselenggarakan. Forum ini juga sekaligus digunakan para santri sebagai arena belajar.
Saat diminta pendapatnya disela-sela diskusi Bahtsul Masa’il, Hernoe Roesprijadji Bendahara PW NU Sumsel yang turut mengikuti jalannya forum ini mengatakan, Bahtsul Masa’il merupakan forum yang sangat bermanfaat, unik dan solutif.
Forum ini, lanjut Mas Hernoe (sapaan akrab Hernoe Roesprijadji), selain dapat membuka mata publik untuk melihat betapa kiai-kiai serta para santri NU sangat cerdas dan berwawasan luas, juga dapat menunjukkan bahwa NU sangat responsif terhadap permasalahan atau persoalan yang dipertanyakan oleh masyarakat.
“Bahtsul Masa’il ini adalah forum yang sangat bermanfaat karena hasil dari keputusan forum ini dapat menjadi acuan bukan hanya bagi si penanya tetapi juga bagi masyarakat luas, bahkan juga bagi para penguasa atau pengambil kebijakan,” urai Mas Hernoe. (rmi/da)
Discussion about this post