Tinggal menghitung hari, hajatan pesta demokrasi Nahdlatul Ulama yang dikemas dalam bentuk Muktamar segera digelar. Hajatan Muktamar yang ke-34 akan digelar di Lampung, pada 23-25 Desember 2021.
Dalam hajatan besar PBNU itu, ada dua posisi yang akan menjadi “rebutan”, yaitu Rais Aam pada level Syuriah dan Ketua Umum pada level Tanfidziyah.
Ketua Umum (incumbent) PBNU KH Said Aqil Siradj telah menyatakan diri siap untuk maju mencalonkan diri menjadi ketua umum lagi di muktamar tersebut. Bahkan, ia mengklaim sudah mengantongi cukup banyak dukungan dari berbagai daerah.
“Kalau banyak permintaan, ya saya siap dong, kader harus siap kalau banyak permintaan. Walaupun sampai saat ini saya belum mendeklarasikan secara resmi, tetapi permintaan sudah sangat banyak,” begitu kata KH Said Aqil di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu, 6 Oktober 2021.
Menyusul KH Said Aqil, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf juga menyatakan diri untuk maju menjadi calon ketua umum. Untuk ini, ia mengaku sudah melakukan pembicaraan dengan KH Said Aqil dan mendapat restu.
Menyikapi kemunculan dua kandidat yang masing-masing memiliki dukungan yang relatif sama kuat untuk menghantarkan mereka merebut posisi Ketua Umum NU dalam Muktamar ke 34 mendatang, Dewan Syuriah PWNU Sumsel melakukan diskusi internal.
“Kemungkinan besar yang bersaing adalah nama-nama itu, yakni KH Said Aqil Siradj dan KH Yahya Cholil Staquf” kata KH Ali Mohsin membuka diskusi.
KH Ali Mohsin, Wakil Rais Syuriah PWNU Sumsel yang sekaligus juga Rais Syuriah PCNU Kabupaten Banyuasin, mengatakan sebenarnya kandidat terkuat pada akhirnya akan bergantung pada dinamika dan independensi sikap dan keputusan PWNU dan PCNU.
Tetapi melihat adanya potensi pengaruh kekuatan politik yang digerakkan oleh elemen eksternal NU seperti PKB dan bahkan Kementerian Agama, KH Ali Mohsin berharap para kiai turun gunung untuk menetralkan situasi.
“Inilah yang menjadi keprihatinan para kiai sepuh, konstalasi persaingan antar kandidat cenderung digerakkan oleh orang-orang politik. Oleh karena itu, kami dari Rais Syuriah PWNU Sumsel mendorong para kiai untuk turun gunung” ujar KH Ali Mohsin.
Senada dengan KH Ali Mohsin, KH Qusyairi Abror, Wakil Rais Syuriah PWNU Sumsel yang juga Rais Syuriah PCNU Ogan Ilir, juga melihat polarisasi kekuatan keduanya sudah tidak sehat, semakin hari semakin “memanas”.
Masing-masing kubu jadi harus menurunkan timnya ke daerah-daerah untuk menggalang dukungan untuk memuluskan jalan bagi terpilihnya kandidat yang mereka usung.
Sementara itu, KH Zainul Arifin, Wakil Rais Syuriah PWNU Sumsel lainnya, melihat perkembangan dinamika yang semakin memanas tersebut, perlu disikapi dengan kepala dingin oleh semua pihak.
“Semua warga NU harus mendukung suksesnya penyelenggaraan Muktamar ke 34 mendatang. Pada saat yang sama, kita tidak melibatkan diri ke dalam polarisasi dukung-mendukung kandidat Ketua Umum. Kita sebaiknya serahkan keputusannya kepada para ulama sebagai pemilik NU sehingga NU tidak dimanfaatkan atau ditunggangi oleh kepentingan pihak ketiga,” jelas KH Zainul Arifin.
Menanggapi pernyataan KH Zainul, KH Ali Mohsin menekankan pentingnya memasukkan peran ulama atau AHWA dalam Tata Tertib pemilihan Ketua Umum.
“AHWA harus berperan sentral. Untuk itu, Tata Tertib ini harus dirumuskan dengan matang dan mampu menangkal adanya “penyelewengan atau penyusupan” tegas KH Ali Mohsin.
Mekanisme pemilihan, baik pemilihan Rais Syuriah maupun Ketua Umum Tanfidziyah, tandas KH Ali Mohsin, harus melaui AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi), bukan melalui pemungutan suara langsung atau voting. Dan ini harus dimasukkan dengan jelas dan tegas dalam tata tertib.
Sebab, jelas KH Ali Mohsin, jika menggunakan mekanisme voting, dikhawatirkan luka-luka lama sisa Muktamar Makassar dan Jombang akan muncul kembali dan mengacaukan situasi yang ekses selanjutnya akan menyulitkan penataan organisasi NU paska Muktamar.
Oleh karena itu, harap KH Ali Mohsin, semua elemen harus disadarkan bahwa NU ini milik ulama. Maka peran ulama harus dimaksimalkan dalam proses pemilihan Ketua Umum dan Raim Aam PBNU melalui AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi).
“Kiai-kiai sepuh banyak yang trenyuh melihat kondisi jelang muktamar yang semakin ruwet ini, padahal NU struktural dan juga kultural harus seimbang. Kita tidak boleh membiarkan NU dijadikan ajang konsolidasi pihak tertentu untuk politik praktis. NU adalah rumah besar bagi seluruh jamaah nahdliyin sehingga harus terus dijaga marwahnya,” pungkas KH Ali Mohsin. (rmi/damas)
*Catatan Gus Damas dari Diskusi Internal Rais Syuriah PWNU Sumsel.
Discussion about this post